Celaka ketimpangan Gender di Tanah Mesir





Saatnya telah tiba bagi saya untuk melepaskan butiran yang terakhir dari kebajikan, tetesan terakhir dari kesucian di dalam darah saya. Kini saya telah sadar mengenai kenyataan, mengenai kebenaran. Kini saya telah tau apa yang saya inginkan. Kini tak ada lagi ruangan untuk khayalan. Seorang pelacur yang sukses lebih baik daripada seorang suci yang sesat—Kini saya sadari bahwa yang paling sedikit diperdayakan dari semua perempuan adalah pelacur. Perkawinan adalah lembaga yang dibangun diatas penderitaan yang paling kejam untuk kaum wanita. (hal. 126)

Novel ini menceritakan kehidupan perempuan yang berjuang melawan sistem patriarkat di Mesir ,Timur Tengah. Nawal dengan apik memulai alur cerita dengan sosok perempuan bernama Firdaus yang tampak tenang bahkan saat dirinya dinyatakan menerima hukuman mati. Saya ingin membagi kisahnya menjadi 3 fase, Firdaus kecil, saat menjadi yatim dan saat dewasa.

Firdaus kecil, perempuan berparas lokal, digambarkan ia tak begitu cantik dengan hidung malangnya yang besar. Ia cerdas jiwanya bebas, tapi selalu terkurung adat dan rutinitas tiada henti. Hidupnya serba kekurangan, ia bahkan tak tahu rasanya memegang uang. Sejak kecil ia hanya meyakini apa yang ia lihat dan ia rasakan. Ia selalu menyaksikan ibunya setiap hari dipukuli oleh sang ayah, sampai peristiwa kedua adiknya mati “seperti anak ayam” yang tergeletak dan tak terurus. Firdaus kecil begitu senang belajar. Pamannya yang sekolah di Al-Azhar, Kairo, kerap kali datang kerumahnya untuk mengajarkan Firdaus membaca. Sampai kemudian Firdaus menjadi yatim piatu, pamannya lah yang mengurus dan menyekolahkannya.

Firdaus yang yatim piatu, mengadu hidupnya dengan nasib perwalian. Mana ada seorang perempuan Mesir saat itu, yatim piatu yang disekolahkan dan menjadi pintar disia-siakan begitu saja. Dulu, semasa ia sekolah, pamannya adalah keluarga satu-satunya. Cinta bagi Firdaus. Lelaki ini pernah sampai memeluk dan menciumnya. Namun, diusia 19 Tahun, Firdaus justru dinikahkan dengan lelaki usia 60 Tahun yang cacat. Ia lelaki kaya, sangat ingin dihormati karena kekayaannya tetapi begitu kikir terhadap sesama. Naasnya, lelaki tua itu adalah mertua dari pamannya sendiri. Selama pernikahannya, Firdaus tak tahan dengan kehidupan yang tak lagi manusiawi. Firdaus memutuskan kabur dengan bermodalkan ijazah sekolah menengahnya.

Tapi, tak lama setelah kabur, ia justru terjerumus lagi. Firdaus bertemu laki-laki yang memiliki sebuah kedai pinggiran. Ucapan lelaki itu begitu manis. Rasanya, seakan-akan ia torehkan cinta pada hati Firdaus. Bahkan ia berjanji untuk membantu Firdaus mencari kerja dan tidak akan melukainnya. Kemudian semua seakan menguap seperti angin saat Firdaus berusaha untuk bebas dan mencari kerja. Kali ini, Firdaus tidak mau terbuai dan harus menderita dibawah tekanan pria yang sama saja dengan sebelumnya, sama sekali tak memiliki cinta baginya.

Kemudian ia lari. Lari untuk mencari lagi apa itu ‘hidup’. Sampai akhirnya, Firdaus bertemu sebuah jalan baru. Melalui seorang wanita yang tak dikenalnya, ia belajar menjadi pelacur dengan harga umum. Firdaus mungkin mendapatkan kehidupan yang lebih layak, walau tak mendapatkan cinta dan kebabasannya. Tapi, ia merasa tubuhnya bukan lagi miliknya. Tubuh itu layaknya mesin penghasil uang, bila ia tak tidur dengan pria semalam pun, ia takkkan mendapatkan uang. Kepercayaan Firdaus perlahan runtuh. Ia tahu bahwa selama ini hanya dimanfaatkan untuk bisa menghasilkan uang. Ia muak dan terombang-ambing di hamparan jalan, lelah. 

Firdaus dewasa, ia tahu, tak ada satupun orang yang percaya gelandangan punya ijazah sekolah menengah, atau perempuan dengan pakaian compang camping itu adalah manusia bermartabat. Tapi, perempuan yang memiliki uang kemudian bisa makan di tempat yang mahal, baru bisa mereka percaya dan hormati tanpa melihat pakaian dan parasnya sekalipun. ‘Aahh beginilah dunia’ baru saat itu dia sadar seakan berhasil menemukan kunci kehidupan. Akhirnya Firdaus kembali melacurkan diri dengan siapapun asalkan membayar dengan harga tinggi. Kehidupannya kini ada digenggamannya. Beragam pria kaya silih berganti mengajaknya tidur dan bermain tak hanya di rumah mewahnya, kadang pula di kapal pesiar.

Tapi lagi-lagi, Firdaus merasa janggal. Ia sudah kaya, punya kuasa atas tubuh dan kehidupannya, bahkan semua orang kini percaya ia memiliki ijazah sekolah menengah dan pintar. Tapi ternyata masih ada orang yang menganggapnya bukan manusia bermartabat, memandangnya dengan tatapan tidak terhormat. Ada yang salahkah dengan hidupnya? Firdaus tak tahu apa artinya terhormat. Apakah dengan menjalani kehidupan perempuan pada umumnya, maka semua orang akan memandangnya dengan hormat, atau menganggapnya manusia bermartabat?

Firdaus yang bermodalkan ijazah sekolah menengah akhirnya mencari kehidupannya yang baru, hidup selayaknya perempuan lain yang berkerja dan tidak tidur dengan bermacam-macam pria. Ia tinggal di sepetak rumah. Saat kehidupannya dianggap begitu normal dan sederhana, Firdaus menemukan cinta.

Pria kali ini begitu berbeda. Ucapannya dapat dipercaya banyak orang melampaui kepercayaan Firdaus pada penguasa negaranya. Ia begitu baik dalam sikap dan mimipi-mimpinya. Setidaknya ia tahu bahkan si pria juga memilki perasaan yang sama dengannya. Namun, seperti petir yang menyambar pohon disiang bolong, Firdaus dikhianati. Lelaki ini berpaling hanya dengan sogokan materi dan iming-iming penghidupan yang layak. Berubah 180 derajat setelah menikah dengan anak pemilik perusahaan. Hancur sudah kepercayaan Firdaus pada manusia bernamakan laki-laki.

Jika kita perhatikan, sejak awal, Nawal ingin kita menggarisbawahi makna ‘titik nol’. Keadaan dimana kita benar-benar berada di titik dasar kehidupan kita. Kehidupan Firdaus sejak awal selalu dilecehkan dan dikecewakan. Cinta pertamanya, cinta masa kecilnya, Muhammadain, mengajaknya  bermain pengantin-pengantinan ternyata bertujuan ingin menyentuh bagian intim tubuh Firdaus yang bahkan belum juga tumbuh. Ayahnya, rela memukul ibunya setiap malam, yang penting makan malamnnya tetap tersedia, tak peduli walau anak-anak membencinya. Pamannya, dengan gelagat mengajarinya membaca, berulang kali melecehkan atau mencumbu  Firdaus saat tengah tumbuh remaja sampai menjadi ditinggal kedua orang tuanya. 

Lalu dinikahkan di usia belia, dengan pria tua yang begitu dihormati, namun menutupi kikir, keras dan cacatnya dengan kekayaannya tersebut. Kemudian bertemu pria bermulut manis, Ibrahim, yang nyatanya hanya menginginkan sex tanpa memikirkan kehidupan yang layak. Pernah juga Firdaus berteman dengan seorang wanita, yang pada akhirnya hanya mementingkan kehidupannya sendiri tanpa memikirkan perasaan dan keadaan temannya, atas sesama perempuan. Sampai padanya seorang pria yang benar-benar membuat Firdaus jatuh cinta, nyatanya menutupi maksud liciknya dengan mimpi-mimpi revolusioner, sikap dermawan dan ucapan yang bisa dipercaya, justru tidak memerdulikan cinta. Firdaus terus menerus menancap pada titik dasar keadaan manusia terlahir, tak berdaya

Cerita dalam novel sebanyak 114 halaman ini terasa seperti kisah tiada henti berputar dikepala saya. Bagi Nawal,  Firdaus mungkin membuatnya malu dan merasa kerdil, merasa bahwa hidupnya saat ini sesungguhnya hanyalah kesalahan. Tapi menurut saya, tidak hanya itu, Firdaus juga membuat pembaca menyadari bahwa pencarian hidup yang sebenarnya bukan tentang belajar hingga pintar, kaya dan dermawan, penuh cinta dan kasih sehingga dikatakan sebagai manusia yang bermatabat, tapi menemukan titik dasar bahwa semua yang ada di dunia ini tak sempurna dan tak berdaya, hanya kehidupan yang kekal abadi yang sempurna. Kematian didunia ini, adalah jalan menuju kehidupan yang sebenarnya bagi Firdaus. seperti penggalan kalimat Firdaus dalam buku ini,

" Mereka tahu bahwa selama saya masih hidup mereka tidak akan aman, saya akan membunuh mereka. Hidup saya berarti kematian mereka, kematian saya berarti hidup mereka. Mereka ingin hidup. Dan hidup bagi mereka berarti semakin banyak kejahatan, perampokan, perampasan. Saya telah menang atas keduanya, kehidupan dan kematian, karena saya sudah tak lagi mempunyai hasrat untuk hidup, juga tidak lagi takut mati.” (hal.147)

Jika membaca buku ini, rasanya tidak akan ada perempuan yang kuat menahan sakit. Tidak hanya sakit pada tubuhnya, tapi juga hati dan pikirannya. Menerima tekanan dari kelompok mayoritas sampai hilangnya jati diri dan kehormatan, sosok Firdaus tetap gagah, tidak sekalipun bahkan menundukkan kepalanya walaupun ia tahu esok adalah kematiannya.

Novel ini memang banyak menuai perdebatan. Di negaranya sendiri, novel ini seakan menjadi ancaman bagi semua kaum lelaki.  Jika kita perhatikan secara historis, saat itu Mesir sudah menjadi modern, dengan nama Republik Mesir dan diperintah secara otokratis oleh tiga presiden selama enam dekade. Pertama, oleh Nasser dari tahun 1954 hingga kematiannya pada tahun 1970, kedua  Anwar Sadat dari tahun 1971 hingga pembunuhannya pada tahun 1981, dan ketiga Hosni Mubarak dari tahun 1981 hingga pengunduran dirinya dalam menghadapi revolusi Mesir di tahun 2011 [1]. 

Saat diterbitkannya novel ini, negeri piramida yang modern juga tengah menghadapi berbagai peperangan, nuansa patriarki masih begitu kuat, lekat secara struktur atau kultur masyarakat yang masih menomerduakan perempuan dalam aspek kehidupan. Perlawanan semacam ini menjadi catatan penting bagi Mesir. Perjuangan itu belum selesai, mengangkat hak-hak perempuan menjadi tanggung jawab bersama seluruh wanita. Tempo.co dalam catatanya di tahun 2013, menerangkan Mesir tergolong negara paling buruk dalam hal penerapan hak asasi perempuan di negara-negara Arab. Survei dilakukan Thomson Reuters Foundation terhadap lebih dari 330 ahli gender di 21 negara Liga Arab, termasuk Suriah, selama tiga tahun sejak Arab Spring pada 2011. Hasil survei itu menemukan fakta bahwa diskriminasi dan perdagangan perempuan merupakan faktor utama yang menyebabkan Mesir menempati urutan paling buncit di antara 22 negara Arab.


Data Buku

Terbitan Pertama             : 1975
Pengarang                        : Nawal El Saadawi
Jumlah halaman               : 114
Penerjemah                      : Sherif Hatata
Negara                             : Mesir
Penerbit                           : Yayasan Obor Indonesia
Tahun Terbit (Indonesia): 2002
Genre                              : Novel, Fiksi, Nonfiksi kreatif
Kategori                          : 17+
Rate by me                      : 9/10

Tentang Penulis


Nawal El Saadawi adalah seorang dokter bangsa Mesir. Ia terkenal di seluruh dunia sebagai novelis dan penulis pejuang hak-hak wanita. Karya novel yang kontroversial ini di angkat dari kisah nyata (non fiksi) hanya saja dibumbui dengan bahasa sastra oleh el-Saadawi. Tahun 1972 sebagai akibat diterbitkannya buku nonfiksinya yang pertama “Women and Sex”, ia dibebastugaskan dari jabatannya sebagai direktur dan juga sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Health. Dia adalah dokter pertama yang melawan pemotongan anak di bawah slogan agama-budaya. Buku-bukunya disensor di Mesir dan dia harus mempublikasikan di Lebanon. Pada tahun 1981 Nawal El Saadawi terbuka mengkritik kebijakan Presiden Anwar Sadat dan ditangkap dan dipenjarakan. Dia dibebaskan satu bulan setelah pembunuhan sang presiden. Nawal el-Saadawi sekarang bekerja sebagai penulis, psikiater dan aktivis. Her Novel terbaru adalah Zina, The Stolen Novel (2008).[2]




[2] Jurnal, “Nawal El-Sadawi: Membongkar Budaya Patriarki melalui Sastra”, oleh Umu Kulsum, Univeritas Islam Madura, 2017.



You Might Also Like

0 komentar