Menikmati Rasa Bosan

(Tulisan berjudul asli "Seni Menerima Kebosanan" ini dibuat saat mengikuti ajang menulis inspirasi Genbi UIN Jakarta bertema "Belajar di rumah versi saya")

Rumah itu terletak di gang wijaya kesuma, posisinya di tengah, yang bercatkan hijau, pagarnya tinggi, dan dipenuhi dengan pamflet jualan, serta bernomorkan 13, angka yang diyakini kebanyakan sebagai “angka kesialan” . Inilah  tempat saya merebahkan diri dan pikiran selama masa pandemi.

Sebelum pandemi ini, saya layaknya anak muda kebanyakan yang senang menghabiskan waktu diluar. Haha.. tapi saya tidak berkawan banyak, tidak pandai bersosialisasi, tidak gaul seperti anak-anak tetangga pula. Teman dekat saya bisa dihitung jari, begitupun aktivitas wajib di luar rumah yang harus saya hadiri, kebanyakan malah karena inisiatif sendiri, nyari-nyari di sosial media, mana kegiatan yang bisa dikunjungi, untung-untung dapat pengalaman dan foto, tambah untung kalo dapat barang bawaan, walau sekantong makanan.

Sebelum ini pula, saya tengah mencoba lingkungan baru, magang di salah satu kementerian di republik ini. Kementerian Pemuda dan Olahraga, di bagian Deputi Pengembangan Pemuda dan Olahraga. Jangan tanya kerjanya apa, seorang mahasiswi jurnalistik semester 7 ini hanya mendapat bagian administrasi di sekretaris deputi, kerjanya hanya fotokopi dan mondar mandir lantai satu sampai sepuluh bawa lembaran-lembaran surat dan proposal.

Tapi saya senang bisa tahu putaran kerja pegawai negeri. Pagi-pagi datang cap jari di mesin fingerprint kemudian naik lift dan naro barang di meja kerja lalu ke dapur cari kopi atau teh. Kadang kalau belum sarapan, mereka minta tolong petugas kebersihan untuk beli beberapa kudapan subuh, kadang bubur, nasi uduk, tak lupa dengan gorengan. Makan di ruang kosong yang biasa dipakai tamu-tamu menunggu audiensi. Ketawa cekakak-cekikik menemani suasana pagi di gedung kementerian ini. Kalau sudah jam nya kerja, barulah mereka kembali ke bek masing-masing, dimulailah gunjingan tentang ini dan itu. Paling enaknya jadi anak magang, ada makanan ikut makan, ada gosip ikut dengar, ada proyek ikut kecipratan. Syukur-syukur kalau pulang dapat cecepan, sekedar makanan atau ongkos pulang, maklum magang tak berbayar disitu. Aahh... senangnya bernostalgia, kisah dua bulan lalu.

Semester ini tak banyak yang perlu saya kerjakan selain menyelesaikan skripsi. Tak banyak pula kerjaan yang saya lakukan selain jadi guru baca Qur’an di pesantren, itupun hanya seminggu empat kali. Datangnya Korona juga berimbas pada kami yang kerjanya masih sangat tradisional, mengandalkan tatap muka dan pulpen buat nulis catatan bacaan. Memendar harap dapat pekerjaan baru yang bisa menghasilkan walau 25-100 ribu, saya tebar CV dan portofilo lewat surel, tapi tak kunjung dapat jawaban.  Justru malah jadi boros, bosan selalu saja datang, dan berselancar gawai selalu jadi obat. Tabungan semakin menipis karena menghabiskan kuota lebih cepat dari biasanya. Padahal mama papa bilang, “hei bantulah kami selagi di rumah saja, bantu ke pasar, masak dan bebersih rumah, biar manfaat waktu luang mu!”, tetap saja saya abai untuk bergerak.

Karena gemar menonton film dan drama korea, kuota yang  saya beli setiap bulan selalu dimanfaatkan untuk unduh berbagai film keluaran baru. Bahkan film dan drama yang lawas di dalam dokumen leptop pun, tak lewat saya tonton kembali untuk menghabiskan waktu. Habislah saya lewati dua minggu pertama meringkuk depan leptop dan gawai, begadang lupa dengan waktu. Lalu, tak lama ramadhan datang, “aah.. sudah ramadhan kah ini?” heranku.

Apalagi yang bisa diperbuat selain itu. Merasa sangat jemu, saya mulai merapikan diri. Atur jadwal dan produktifitas sendiri. Beruntunglah kalau ramadhan saya penuhi dengan kegiatan manfaat, biar tak melulu kena omel mama dan papa. Saya mulai dengan menuliskan catatan kecil di stiky notes dan menempelkannya di cermin kamar, biar setiap pagi saat saya merapihkan rambut, saya baca dan ingat harus melakukan apa. Disitu tertulis, selesaikan proposal skripsi, persiapkan tes BTQ, Toefl dan Toafl (pra-syarat kelulusan sarjana), selesaikan tugas merapihkan website pondok, belajarlah Toefl minimal satu jam sehari, belajarlah design grafis minimal satu kali seminggu, bacalah buku minimal satu kali sebulan, carilah pekerjaan-pekerjaan tambahan. Aah hebatnya saya pikir kalau semua bisa saya lakukan rutin. Selepas Korona, saya akan siap matang hadapi ujian akhir. Bahkan dengan tambahan skill baru buat bekal cari pekerjaan.

Manusia memanglah manusia. Baru dua minggu rutinitas itu berjalan, saya kembali merasa jemu. “Aduh mak, bosan kali aku ini di rumah, apalagi yang bisa ku perbuat?” rengekku pada mama selepas sholat jamaah.  Selama di rumah saja, sholat jamaah memang selalu jadi rutinitas yang wajib saya sekeluarga lakukan, papa selalu berpesan “sholat jamaah 27 kali lipat pahalanya, hayo ke sorga bareng-bareng”. Gaungan nasihat itu berbunyi lima kali sehari, sudah melebihi anjuran minum obat. Tambah lagi masuk bulan ramadhan, pesan dan nasihatnya tambah panjang, “hayo ngaji, sholat sunnah ditambah, khatamkan al-qur’an, bagun sepertiga malam biar dapat lailatul qadar”.  Saya merasa kembali di kehidupan saya semasa mondok 10 Tahun silam, saat masih kelas 1 Tsanawiyah. Tapi, lagi-lagi bosan itu bertamu. Dan saya sadar ia meninggalkan sesuatu disana, membaca.

Ternyata, membaca jadi satu-satunya kegiatan yang tetap bisa saya lakukan walau bosan selalu datang. Saat saya membaca, saya rasakan otak dan imajinasi saya bebas melanglang buana. Indahnya, setiap waktu, punya bacaan-bacaan yang pas. Saat pagi sampai sore, saya suka baca buku-buku cerita, kadang novel, sejarah atau biografi. Saat malam, saya terbuai untuk baca buku-buku puisi. Nyamannya melebihi saat berselancar di sosial media. Saya merasa sangat menikmati waktu luang, tidak pusing memikirkan apakah rutinitas wajib yang saya tempel di cermin kamar sudah saya kerjakan atau belum.

Saya melepas setiap kepenatan dengan bait puisi dan alur cerita. Alinea demi alinea mengobati rindu untuk bermain di luar. Jadi teringat dengan salah satu ungkapan Bung Hatta, “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas”.  Aah.. rupanya beginilah rasanya dipenjara bersama buku.

Ungkapan ini sangat relevan dengan situasi kita saat ini. Bayangkan saja, sosial media kerap menampilkan informasi yang membuat pikiran kita lelah. Tentang prediksi ekonomi yang menurun, sulitnya masyarakat mematuhi aturan, kebijakan pemerintah yang tak karuan, atau kelakuan aneh netizen yang sengaja cari perhatian. Bayangkan lagi bila aktivitas kita menggunakan gawai bisa 20 jam dalam sehari, chat teman-teman sudah, telponan sudah, video call sudah, belajar online sudah, bermain gim sudah, belanja online sudah, lalu apa lagi?

Berbeda dengan membaca. Saat membaca kita bebas memilih tema yang kita mau, berimajinasi sesuka hati, bisa merenungkan makna paragraf demi paragraf, lalu mengambil saripati, atau bahkan mencatat tiap kata-kata indahnya. Pikiran dan hati kita dibebaskan melintasi waktu, zaman dan peristriwa untuk kemudian menghadirkan energi baru. Saya bahkan bisa menghasilkan banyak tulisan semasa pandemi ini. Sebagian tulisan itu saya publikasikan di blog, dan sebagian lagi saya simpan untuk koleksi pribadi.

Kita semua memang rindu untuk bertemu, bercengkrama, berpelukan seraya bercanda tawa, tak perlu memikirkan harus tutup muka dan cuci tangan setiap saat. Rindu saat udara dapat dengan bebas dihirup tanpa halangan selapis kain. Rindu suasana berhimpitan naik kendaraan umum sampai ketiduran. Rindu ini sudah seperti dendam rasanya. Dan bosan selalu datang untuk mengingatkan kerinduan ini.

Hal ini membuat saya belajar, sastrawan Eka Kurniawan pernah memeringati kita lewat bukunya “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” . Saat ini kita tengah belajar hal baru. Tapi kemudian bosan selalu datang memenuhi setiap cela, dan harus kita terima. Penerimaan itulah yang akan menguatkan kita, membawa kita pada esensi diri yang baru. Karena rutinitas yang biasa kita lakukan itu sejatinya tidak hilang, hanya diganti dengan model baru. Ritme ini pasti menciptakan rasa bosan. Rindu dan bosan bagaikan hukum aksi reaksi. Kita hanya perlu bergeser arah pandang sedikit. Karena dengan menerima kebosanan, kita belajar menuntaskan kerinduan.



Seminggu setelah mengirim tulisan ini, ternyata saya dinobatkan sebagai pemenang kedua tulisan inspiratif bertemakan belajar di rumah versi saya. Generasi Bank Indonesia (Genbi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai komunitas yang menaungi mahasiswa penerima beasiswa Bank Indonesia sekaligus penyelenggara kegiatan, menghadiahkan saya sebuah buku baru karya penulis ternama Andera Hirata. Buku ini nantinya akan saya resensi dan pastinya akan dipublikasikan di situs blog saya ini. Terimakasih nantikan tulisan lainnya yaah :)

You Might Also Like

0 komentar