Semua Hidup Ber(harga)

 

“Kita sangat beruntung bisa hidup, kita sangat beruntung bisa saling membantu, dalam hal kecil maupun besar. Kita beruntung, karena saling membantu itu membuat kita bahagia” – Katarina.


Pesan ini disampaikan Katarina (Kate) dalam pidato di adegan penampilannya bernyanyi bersama tim musik saat mengadakan perayaan malam natal bersama sekelompok tunawisma. Pesan singkat ini menjadi kesimpulan akhir yang indah sekaligus menampar kita semua untuk kembali mengingat kata “syukur”.

Diangkat dari kisah fiktif , perempuan bernama lengkap Kate Andrich (Emilia Clarke) berasal dari keluarga yang baik-baik saja awalnya. Gadis yang lahir dari keluarga imigran asal Yugoslavia mulai mengeluhkan hidupnya yang tidak karuan, sering berpindah tempat tinggal, tidak akur dengan bosnya dan renggang dengan keluarganya sendiri.

Katarina adalah sosok perempuan yang bebas, terkesan egois dan tak terkendali. Sejak kecil, ia percaya bahwa bakatnya dalam bernyanyi adalah kebahagiaan terindah yang ia punya, dan pastinya dia andalkan sebagai cita-citanya. Namun, penyakit yang membuat Katarina harus menjalani cangkok jantung, membuatnya mengalami perubahan 180 derajat jauhnya sebagaimana ia kecil dahulu.

Kemudian ia bertemu seorang pria baik dan menawan, Tom Webster (Henry Golding), yang tidak dikenalnya sama sekali. Bertingkah aneh dan bukan tipikal idamannya. Tapi, mereka saling tertarik. Awal mulanya, Katarina memang tidak begitu memerdulikan ucapannya, tapi semakin dia mendengarkan dan memerhatikan tingkah pria ini, obrolan mereka semakin akrab dan menyenangkan. 

Yang menarik dalam film ini adalah, awalnya sutradara membuat penonton merasa jalan cerita ini terkesan biasa dan tak ada bedanya dengan kehidupan kita sehari-hari, namun semua itu terpatahkan setelah Katarina sadar bahwa cintanya selama ini hanyalah khayalan. 

Semua adegan yang menggambarkan Katarina dengan Tom menjadi sangat nyata saat terulang tanpa kehadiran Tom. Khayalan, namun terasa nyata. Kondisi ini jelas sulit diterima penontonnya. Merasa sedih dan kecewa. Namun, sutradara menjelaskan alasan itu dalam adegan terakhirnya.

Secara medis, menurut hellosehat.com, diketahui setidaknya 25 hingga 45% anak yang berusia 3 sampai 7 tahun memiliki teman khayalan. Sebagian besar anak memiliki teman khayalan yang tidak nyata, namun sebagian lagi menganggap mainan seperti boneka adalah teman khayalannya. Dalam survei lain, ada sebanyak 51% dari 500 remaja di sebuah kampus di New Zealand menyatakan bahwa mereka masih mengingat teman khayalannya sewaktu kecil (Nicholson 2008). Mengapa teman khayalan bisa terjadi?

Menurut Alodokter.com kemenkes RI, gangguan yang memungkinkan anda memiliki teman khayalan selain skizofrenia misalnya maladaptive daydreaming (MD). MD terjadi ketika seseorang berkhayal terlalu ekstrim sehingga mempengaruhi secara negatif dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. MD sering dikaitkan dengan trauma masa lalu atau merasa tidak puas dengan kehidupan nyata. Bisa berciri-ciri ada keterikatan secara emosional dengan karakter dalam khayalannya, saat gejala muncul sulit untuk menarik diri ke kehidupan nyata, bisa menunjukkan emosi saat melakukan khayalan seperti tertawa, menangis dan tersenyum sendiri, melakukan gerakan konstan saat masuk dalam khayalan seperti menggigit kuku, mengetuk meja, dll, menarik diri dari lingkungan sekitarnya, dan biasanya berkaitan erat dengan musik.

Kondisi ini menurut saya, hanya menjadi jalan yang tepat dan masuk akal bagi sutradara untuk  menghidupkan kembali sosok Kate seperti sebagaimana ia kecil dulu. Katarina perlu hidup, dan hidup baginya saat itu adalah kesedihan, kepayahan dan kegagalan. Untuk menampilkan seorang pria yang datang bagaikan pangeran dengan segudang kemampuan yang mampu mengubah hidup Katarina adalah kisah klasik. Siapapun dapat menebak. Tapi menampilkan pria khayalan bisa menjadi twist yang menarik dan tak terduga terjadi pada siapapun dan dalam situasi yang berbeda-beda. Dan untungnya, kehadiran Tom membawa dampak yang lebih positif kedalam hidup Kate.




Hal menarik lainnya dari film ini adalah, saya takjub bahwa sutradara dan penulis berusaha menghadirkan visual singkat  yang padat nilai. Film yang disutradarai oleh Paul Feig itu terinspirasi oleh lagu dari duo asal Inggris, Wham!, dengan judul yang sama. Penulis naskahnya, Emma Thompson pernah diganjar piala oscar kategori Best Adapted Screenplay untuk film Sense and Sensibility (1995). 

Mereka mencoba memasukkan beberapa isu politik dan LGBT. Pemilihan aktor yang variatif tergambar dari berbagai macam ras dan suku yang dimunculkan, ada asia, afrika, eropa dll. Isu LGBT terlihat dari keluarga Kate, yakni adiknya Martha yang memiliki hubungan dengan Alba. Tetapi keluarganya menerima dengan sangat baik kenyataan tersebut . Ada berita mengenai Brexit, persoalan mengenai sikap antiimigran di Inggris pada masa itu, menjadi salah satu penyebab keretakan keluarga Kate. Walaupun nampaknya isu tersebut tidak terlalu menyatu dalam film ini.

Mereka juga menyisipkan isu kemanusiaan, dengan memilih sisi penampungan tunawisma yang membantu para tunawisma dan disabilitas untuk bertahan hidup. Ada pula menghargai setiap bantuan kecil, Kate berusaha membantu mengumpulkan uang dengan bernyanyi didepan penampungan. Belajar mengakui kesalahan dan meminta maaf.  Menegaskan nilai bahwa yang berharga itu bukan hanya mereka yang hidupnya merasa “normal atau berbakat” tapi mereka yang kenyataannya memang tidak normal dan tidak berbakat sekalipun, itu juga berharga. Sehingga, mereka akan ingat bahwa mereka beruntung untuk hidup dan bahagia. Dan kemistri Kate dan Tom menjadi perpaduan apik yang menonjol dalam film ini. 

Jika dihubungkan dengan kehidupan kita saat ini, maka dialog pidato Katarina yang saya tuliskan diawal review ini menjadi alasannya. Bagi saya, siapapun ingin hidup bahagia, tapi siapapun tak mungkin bahagia secara cuma-cuma. Jika hidupnya diberi kesempurnaan fisik, bisa jadi tak sempurna akal jiwanya, sempurna akal jiwanya, bisa jadi tak sempurna fisiknya. Sempurna akal, jiwa dan fisiknya, ternyata tak sempurna keberuntungan hidupnya. Sempurna akal, jiwa, fisik dan keberuntungan hidupnya, ternyata tak sempurna cintanya. Sempurna akal, jiwa, fisik, keberuntungan, cinta, ternyata pendek usia hidup didunianya. Bahkan yang benar benar tak sempurna dari segala sisi, ternyata punya waktu yang begitu panjang dalam hidupnya untuk bisa berkelana dan mencari makna “bahagia” lainnya.

Selama masa pandemi covid-19 ini, banyak hal kita lalui penuh penuh kejutan. Kesehatan mental menjadi pondasi untuk menjaga kesehatan fisik kita. Kita patut sadar, bahwa sampai detik ini kita masih sehat dan bertahan, adalah keberuntungan yang harus kita jaga. Menghadirkan bahagia dari keberuntungan-keberuntungan kecil adalah kebutuhan, bukan tuntutan. Itu yang kita butuhkan sebagai manusia yang hidup, bahwa kita bisa hidup adalah keberuntungan, dan keberuntungan itu harus menghadirkan kebahagiaan, baik untuk diri kita, atau sekitar kita. 

Data Film
Sutradara         : Paul Feig
Penulis             : George Michael (inspired by: the song "Last Christmas", written and composed by), Emma Thompson (story by)
Pemeran           : Madison Ingoldsby, Emma Thompson, Boris Isakovic, Emilia Clarke, Henry Golding, dll.
Rilis                  : 6 Desember 2019 ( Indonesia)
Durasi               : 1h 43min
Kategori            : 17+
Genre                : Comedy, Drama, Romance
Rate by me       : 8/10
 

You Might Also Like

0 komentar