Cerpen- The Light of Tea

cerita kali ini terinspirasi dari maraknya kisah penindasan dan kerusuhan di negara-negara timur tengah, saat itu gue masih duduk di bangku SMP kelas 3, gue masih meneruskan hobi nulis cerpen. cerita ini terlalu imajinatif saat gue baca kembali setelah gue duduk di perguruan tinggi semester 3. hahahah... ternyata dulu imajinasi gue sampai pada tingkat ini yah... ini karya asli, tapi maaf kalo ada kesamaan nama dan karakter semua tidak direncanakan yah... selamat membaca :)

THE LIGHT OF TEA




s
aat itu usiaku baru 15 th, tepat disaat aku menerima ijazah SMA ku. Yah aku adalah anak akselerasi di bidang Kesenian Kaligrafi. Aku memang menyukai pelajaran seni, namun tak membuatku melupakan prioritas utamaku, yakni pendidikan agamaku. Aku adalah seorang nasrani di Negara tercintaku, Negara tempatku diselamatkan dari kejamnya zionis Israel, Turki. 

Usiaku kini 20 tahun, Kisahku diawali dari terdamparnya aku, gadis Palestina berusia 10 tahun didekat reruntuhan rumah, mataku hanya dapat melihat samar sosok pria berbadan besar menggendongku, tak tau kemana perginya kami, aku hanya bisa pasrah dan berharap aku diselamatkan.

‘hm..’ hendusku saat aku berusaha membuka mataku. Hanya cahaya terang tepat dihadapanku yang membuatku tak dapat melihat apapun selain mendengar gemuruh orang-orang memohon pertolongan. Sangkaku, aku dirumah sakit.10 hari sudah aku dirawat dirumah sakit ini, oleh pria yang menyelamatkanku kemarin. Ternyata dia adalah seorang nasrani. Ketika ia bertanya siapa namamu padaku, aku tak dapat mengingat apapun dalam fikiranku, apa agamamu? Aku hanya diam, apa yang kulakukan selama ini, dimana tempat tinggalmu? Aku hanya dapat menengok kearah jendela dan berkata, “Palestine”, setelah itu ia tak bertanya lagi. Setelah itu, aku ikut bersamanya pergi ketempat yang lebih aman. Turki adalah tempat ia dilahirkan.

Selama 5 tahunku berada disana, aku menjadi gadis nasrani yang taat, ramah dan selalu berbuat baik pada orang. Lingkungan Turki begitu indah, suasananya berbeda dengan tanah kelahiranku saat ini, walau aku tahu Palestine adalah tempat terindah yang pernah aku lihat. Namun aku tetap tak dapat mengingat apapun tentang keindahannya.

“Maria, kemarilah!” pinta paman Zakh, seorang laki-laki yang dulu menyelamatkan hidupku. Dia yang mengajariku banyak hal di Turki, termasuk agamaku. “ya Paman, ada apa?” “ini, berikanlah teh ini pada alamat yang sudah tertera diatasnya. Pelanggan yang satu ini tak pernah mau menerima paket dariku, ia selalu ingin aku yang mengantarkannya langsung. Namun aku sangat letih hari ini, bantulah aku, nak!” pintanya. “Iya Paman, pasti akan aku antarkan. Istirahatlah, agar kau dapat menanam kembali teh-teh yang telah mereka beli!”. Lalu Paman Zakh hanya tersenyum. Dan aku pergi menuju tempat itu.

“Disini tertera tempatnya ada di Kota Madinah, jauh sekalii!! Mengapa orang ini selalu ingin Paman yang mengantarkannya langsung? Aneeh. .” ucapku selama perjalanan menuju Kota Madinah, tempat pelanggan setia Paman Zakh, katanya. “Syeikh Abdullah ibnu Al-Khoeer”, ini pasti nama seorang imam besar” pikirku. Mendengar namanya saja aku sudah merinding, terfikirkan orang-orang terkemuka dalam agama Islam yang besar dan bersuara khas. Hm. . .semoga tak semenyeramkan seperti yang aku bayangkan.

Perjalananku kutempuh dengan pesawat yang sudah dipesan paman, kurang lebih selam 5 jam lamanya. Letih rasanya hanya duduk diatas kursi selama 5 jam. Ketika kakiku menginjakkan tanah Madinah, ada sesuatu yang berbeda begitu aku rasa. Suasana orang-orang yang berjilbab besar dan …sesuatu seperti yang pernah aku alami. Apa ini? Tanyaku dalam benakku sepanjang perjalanan mencari alamat ini berada. Saat itu, aku bertemu dengan seorang janda tua yang membawa kedua anaknya menuju Madinah. Mereka berasal dari Kota Mekkah, namanya Hindun. Dia berkenan untuk mengantarkanku ketika dilihatnya paket teh yang aku bawa. “Apa ini adalah teh Yasmin?” tanyanya lembut disampingku. “ya,ini teh yasmin asli dari Turki” jawabku spontan. “hm.. kabarnya memang syeikh selalu meminum teh ini bersama keluarganya. Zakh adalah seorang pekebun teh yasmin paling terkenal disini, karena aromanya yang berbeda” jelasnya. Aku bingung mengapa ia begitu mengenal syeikh ini?siapa ia. Lalu disela lamunanku memerhatikan dirinya, dia berkata, “Aku adalah janda tua yang tinggal dekat dengan rumahnya. Aku berpergian keMekkah untuk menemui saudara-saudara kandungku. Tapi, tak pernah kulihat orang lain yang mengantarkan teh kepada syeikh selain Zakh. Apa kau ada hubungan dengannya?”. Pertanyaan itu benar-benar membuatku kaget, orang ini jelas begitu mengenal syeikh. “aku anak angkatnya, umi hindun.” “aah.. Zakh semakin lama semakin renta, dia harus memiliki penggantinya”. Lalu kami berhenti berbicara sampai kami tiba dikediaman pembeli teh ini, Syeikh Abdullah Ibnu Al-Khoeer.

Tok..tok..tok.. bunyi pintu gerbang yang kugoyangkan pengetuknya. Lalu gerbang itu terbuka. Kulihat 2 orang penjaga menghampiriku. “wahai wanita muda, ada perlu apa kau datang kemari?”. Aku sedikit gugup. “maaf, tuan. Saya diamanatkan oleh Paman Zakh untuk mengantarkan teh Yasmin ini langsung kepada Syeikh Abdullah Ibnu Al-Khoeer, lihatlah!”. Lalu kuserahkan paket ini pada dua penjaga ini. “baiklah kalau begitu, masuklah!”. Dan aku masuk dengan dikawal oleh dua penjaga ini. Benar-benar menegangkan.

Saat aku masuk keruang utamanya, aku diperintahkan salah satu dari penjaga ini untuk duduk disofa, menunggu Syeikh untuk dipanggilkan. Penjaga yang lainnya, menemaniku diruangan besar ini. Ruangan ini begitu besar dan indah. Dihiasi oleh berbagai macam kaligrafi. Saat aku melihat sekitar, kulihat sebuah kitab besar nan indah tertata dihadapanku. Al-Qur’an. Ucapku dalam benakku. Aku beranjak untuk melihatnya namun penjaga ini begitu memerhatikan diriku. Aku mengurungkan niatku.

“Assalamu’alaiki yaa bintun Zakh!” salam Syeikh kepadaku. Spontan aku berdiri dan menjawabnya, “wa’alaikum salam yaa Syeikh!”. Jauh dengan yang ada difikiranku Syeikh ini sudah tua renta namun tetap terlihat gagah. “sudah lama aku tak mendengar kabanya di Turki, bagaimana ia sekarang?” “dia baik dan sehat ya Syeikh. Hanya saja tenaganya tak sama lagi seperti saat ia muda.” “oohahhah. . ya memang benar, dia seusia denganku. Haah.. sekarang mengapa engkau seorang wanita muda yang mengantarkan paket ini jauh dari sana?” “dia terlihat begitu lelah setelah merayakan Natal bersamaku semalam.” “oh yaa?!! Afwan ya bintun Zakh. Berapa usiamu?” “Usia saya 20 tahun Syeikh.” Lalu syeikh terdiam sejenak. Aku bingung mengapa beliau terdiam. “afwan, apakah kau anak yang diselamatkan Zakh di Palestine?”. Aku diam seribu bahasa. Syeikh ini tahu asal usulku. “ii..yaa syeikh!” “hm.. apakah kau masih mengingat sepenggal kehidupanmu disana?” “a.. itu.. masalah itu aku tak dapat mengingat satupun tentangnya. Aku hanya terbayang suasana gemuruh disana, dan…” “dan…?? Apa itu??” “dan sesuatu yang berbeda saat aku melihat kitab yang ada disebelah sana.” Aku menunjuk kearah Al-Qur’an indah yang tadi kulihat. “hm.. itu adalah Al-Qur’an, kitab suci umat islam. Dibawakan oleh jibril dari lauhul mahfudz menuju baginda besar Rasulullah SAW.” Jelas Syeikh. Aku kini benar-benar terdiam. Apa ini? Mengapa rasanya aku begitu mengenal hal tersebut. Aku diam dalam kesibukkanku mengorek kembali ingatanku. Aku tak bisa. “hm.. begini saja. Bawakanlah teh ini kedalam dapur istri-istriku. Setelah itu kembalilah kemari. Aku akan menunggumu disini.” “baik, Syeikh.”

Aku berjalan dengan kaki gemetar memasuki rumah indah ini. Indah sekali. Saat aku masuk kedalam dapurnya, kulihat wanita-wanita cantik, 4 ibu-ibu yang tengah memasakkan banyak sekali makanan. “ooh..apakah ini paket teh Yasmin Zakh?” salah satunya bertanya. “ya..benar nyonya.” “ha..sini biar ku seduh. Terima kasih banyak wahai wanita muda.” “sama-sama”. Lalu aku kembali menuju ruang tamu tersebut. Saat aku sampai kembali, kulihat syeikh tengah membuka Al-Qur’an tersebut perlahan, “nah..duduklah wahai wanita muda.” Perintahnya sambil menunjukkan kearah tepat dihadapannya. Dan kini aku dihadapannya. “siapa namamu?” Tanya Syeikh. “Maria ya Syeikh..” “Maria dengarkanlah, kuharap kau dapat mengingat kehidupanmu dulu, walau hanya sepenggal” “baik, Syeikh.” Lalu Syeikh mulai membacakan Al-Qur’n tersebut dengan suara yang begitu merdu. Indah sekali. Rasanya begitu nyaman kudengar. Aku begitu menikmatinya, memerhatikannya, dan berusaha untuk mengingat kembali. Apa? Apa? Dan apa?? Hanya itu yang dapat terlintas dalam fikiranku.

Tak lama setelah itu, suara indah itu berhenti. Lalu kubuka mataku, tak sadar aku begitu terlarut dalam pejamanku. “apa yang kau rasakan ya Maria?” Tanya Syeikh kepadaku. “aku merasa begitu nyaman dan tentram mendengarkan engkau melantunkan kalimat-kalimat yang biasa kutulis dengan seni. Seperti saat aku berada dalam pelukan ibu, hangat sekali. Apa itu maksudnya ya Syeikh.” . Syeikh terdiam. “aku tak tahu hal ini benar atau tidak, karena kebenaran hanya milik Allah SWT. Aku rasa dulu kau adalah seorang muslim yang taat dan rajin mendengarkan ibumu membacakannya untukmu, apa kau mengingat wajah ibumu?” . MUSLIM?? Apa itu maksudnya aku adalah orang Islam ketika aku di Palestine?? “hm.. maaf syeikh saya tidak kuat untuk mengingat semuanya.” “hoo.. yasudah tak perlu kau paksakan hal itu. Tenang saja, aku tak bermaksud untuk membuatmu tidak nyaman. Apakah kau akan kembali ke Turki selarut ini?”  “tidak syeikh, saya akan menginap semalam dipenginapan nanti, besok pagi saya baru kembali menuju Turki.” “baiklah kalau begitu, menginaplah dipenginapan ini. Kau akan nyaman disana.” Ucap Syeikh sekaligus memberikanku sebuah kartu nama, tertuliskan atas nama Syeikh Ali Ibnu Abdullah Az-Zukhfuf  I.A, “siapa ini ya Syeikh?” “ini adalah keponakan saya, ia memiliki yayasan Hifdzil Qur’an disana, menginaplah bersama anak-anak disana, kau akan nyaman bersama mereka.” “baiklah Syeikh, terima kasih banyak, Assalamu’alaikum!” “Wa’alaikumsalam..” ucapnya sambil tersenyum. Lalu kulangkahkan kaki meninggalkan rumah indah ini. Huh..kepalaku benar-benar pusing hari ini. Lalu aku mengambil kartu nama itu, “letaknya tak jauh dari sini..mungkin ini lebih baik dari pada dihotel..” dengan percaya diri, aku berjalan menuju yayasan ini.

Pakaian orang-orang disini begitu berbeda dengan Turki, mungkin gaya pakaianku dengan celana, bluss hijab jaket panjang dan sepatu setengah buts ini sedikit aneh disini ya?? Tak masalah yang penting aku sudah menyampaikan amanat Paman Zakh. Ternyata ia begitu dikenal disini.

Perjalananku selama kurang lebih 10 menit akhirnya membawaku pada satu tempat indah lagi. Ini sebuah yayasan keluarga mungkin ya?? Nama belakangnya sama. Aku begitu penasaran, hingga aku memasuki gerbangnya. Dikejauhan sana kulihat seorang anak kecil murung diatas sebuah ayunan, “hai putri cantik, ada apa denganmu?”. Lalu anak itu menoleh kearahku dan tersenyum, “wahai wanita cantik, ada perlu apa kau kemari? Apa kah kau mencari seseorang?” Tanya anak kecil ini. “haa..lucunya. iya aku sedang mencari orang yang memiliki nama ini, apa kau tahu wahai anak putri yang cantik?” tanyaku sambil memperlihatkan kartu nama itu. “haa..itu Syeikh Ali.. syeikh Ali..” ucap anak ini sambil menunjuk kearah dalam bangunan ini. Tak kusangka kulihat seorang pria tinggi berdiri disana, lalu aku bertanya lagi. “apakah orang itu yang kau maksud?” “yaah..betul, ayo aku antarkan!” ajak anak ini menarik tanganku lalu turun dari ayunannya.

“Syeikh..wanita muda ini mencari anda, apakah dia begitu cantiik?” ucap polosnya anak ini. Aku begitu malu hingga aku menghentikan ucapannya, “sst…jangan bilang begitu..” ucapku pada anak ini. “tidak apa, anak ini begitu menyukaimu, masuklah..” ucap Syeikh. Lalu aku kembali ditarik oleh anak ini. Anak ini begitu menggemaskan. “duduklah wahai bidadari, boleh aku memanggilmu begitu?” pinta anak ini sambil memberikan wajah yang imut sekali. “tentu tuan putri..” jawabku sambil mencubitnya. “sekarang kau pergilah belajar bersama teman-temanmu ya..” perintah Syeikh pada anak itu. “baik Syeikh!”. Lalu ia berlari menuju kedalam ruangan. “dia anak yang begitu lucu bukan?” ucap syeikh padaku. “yah..tapi tadi kulihat ia begitu murung?” “ia..tadi suasana hatinya sedang buruk. Ayo duduklah” “ahh..terima kasih Syeikh” “jadi ada perlu apa anda kemari mencari saya?” “hm..begini, baru saja saya mengantarkan paket teh kepada Syeikh Abdullah ibnu Al-Khoeer didaerah sana, lalu beliau memberikan saya kartu nama ini untuk menginap malam ini hingga fajar tiba agar saya dapat kembali ke Turki.” “oh..begitu rupanya. Berbuhubung disini bukanlah tempat penginapan, tapi bila itu permintaan Syeikh Abdullah, baiklah kalau begitu. Masuklah kedalam, nanti akan kau temui beberapa pengasuh perempuan yayasan ini, bertanyalah pada mereka” “baik Syeikh, terima kasih banyak!” “iya sama-sama, saya tinggal ya!” “iya Syeikh!”. Lalu ketika aku beranjak kedalam untuk mengikuti perintah syeikh tadi , aku terhenti pada sebuah foto besar yayasan ini, anak-anak, syeikh dan beberapa pengasuh lainnya. Tepat dibawahnya kulihat Al-Qur’an yang terpanjang begitu indah disana. Aku menghampirinya. Kusentuh dan kulihat tiap lembarnya. “jadi teringat suara indah syeikh tadi..”. ingatku. Setelah itu aku masuk kedalam yayasan ini.

Kulihat begitu banyak ruangan, indah dan begitu nyaman. Saat sedang asik melihat-lihat, “wahai wanita muda, ada yang bisa saya bantu?” ucap seorang wanita yang usianya kira-kira 10 tahun lebih tua dariku. “oh ya..aku sedang mencari pengasuh wanita disini.” “oh..mari ikut denganku” maka pergilah aku dengannya,dan kujelaskan maksud kedatanganku kesini.
20.00………..

Tak terasa, ini sudah malam . Tapi aku tak bisa tidur. Setelah aku membersihkan diri dan mengganti pakaianku dengan pakaian yang disediakan disini, aku membuka handphone dan kulihat disana, tak dapat sinyal. Huuh..benar-benar menyebalkan. Aku melihat lihat sekitar kamar ini, “ini kecil namun begitu nyaman. Apa yang sedang anak-anak itu lakukan ya diluar sana?”. Aku begitu penasaran hingga aku keluar dari kamar berkeliling bangunan ini. Saat aku sampai diruang makan, kulihat banyak wanita sedang menyiapkan makanan. Diantaranya kulihat ibu pengasuh tadi, umi kultsum. “hai Maria.. apa kau merasa bosan? Kemarilah” ajaknya. Lalu aku tersenyum sambil menghampirinya, “apa yang sedang kau lakukan yaa umi kultsum?” “aku sedang menyiapkan makan malam untuk anak-anak disini. Kau lihat banyak sekali ya?” “iya..mereka berasal dari sini semua?” “tidak, beberapa dari mereka berasal dari berbagai daerah, ada yang dari Mekkah, Riyadh, Mesir, Turki dll” “wah..ada yang dari Turki, jauh sekali ia?” “iya.. dialah anak terjauh disini, seorang laki-laki pemberani.” “ohahaah” tawa kami bersama diruangan ini. Ketika aku membantu umi kultsum menyiapkan, kulihat anak-anak sudah bergemuruh datang kemari. Mereka berteriak meminta makan kepada pengasuh-penagsuh disini. Pengasuhnya begitu baik pada mereka. Dibarisan terakhir kulihat syeikh Ali dengan anak kecil yang tadi sore menyambut kedatanganku. Ia melihatku, “haaa…bidadari!!” teriaknya berlari kearahku melepas genggaman syeikhnya. “haaii putri cantik..” pelukku menangkapnya. “bidadari, apakah kau akan menginap malam ini?” “hm..sepertinya begitu, ini sudah malam.” “baiklah kalau begitu, makanlah bersamaku..” “iya..ayo makan!” ajaknya menarik tanganku duduk bersamanya dimeja makan. “ayo baca doaa… Bismillahirrahmanirrahim..” doa dibacakan bersama dipimpin oleh Syeikh Ali. Aku terdiam. Aku tidak pernah melakukan ini di Turki. Tapi sepertinya aku pernah melakukannya. Aku terdiam sambil berfikir menatap anak cantik ini makan dengan lahapnya. Tak ada yang berbicara saat makan, benar-benar disiplin dan rapih.

“bidadari, mengapa kau tak makan tadi? Aku begitu lahap menyantap makanan malam ini karena kehadiranmu disampingku..” ucap polosnya. “iya..bidadari sudah makan duluan tadi. Senang melihatmu makan dengan lahap, seperti itu terus ya putri cantik.” “iyaa.. aku pergi dulu ya bidadari, nanti syeikh akan menjemputku bila aku tak menghampirinya duluan..”ucapnya sambil berbisik ditelingaku. “aah…ia? Kalau begitu,,pergilah..daaaaahh” “dah bidadari, sampai bertemu malam ini yaa..”. lalu kulambaikan tanganku kearah anak itu, dan aku hanya dapat tersenyum saat syeikh melihatku, anak kecil itu, siapa namanya?
22.00……

Malam ini anak-anak yayasan sudah tidur, termasuk putri cantik ku. Mereka memiliki kamar bersama yang nyaman, kata umi kultsum. Setelah selesai membantu umi kultsum, umi berkata padaku untuk menghampiri Syeikh diruangannya. Aku berjalan sedikit gugup. Dari kejauhan kudengar lantunan indah Al-Qur’an dibacakan, lalu sesampainya, kuketuk pintu dan mengucapkan salam. Hanya ada syeikh disana. “kemarilah!” aku duduk dihadapannya. “baru saja Syeikh Abdullah meneleponku dan memberitahukanku untuk memberitahumu hal ini, tiket pesawat dari Paman Zakh baru ada 3 hari lagi, jadi menginaplah disini sampai kau bisa kembali dengan tiket tersebut ke Turki.” Jelasnya. “baiklah syeikh, dan dimana aku mendapatkan tiket itu? Apa tiket itu ada di Syeikh Abdullah.?” Tanyaku gugup. “iya..ambillah 3 hari lagi!” “baiklah kalau begitu Syeikh, terima kasih banyak. Maaf jadi merepotkanmu.” “tidak apa-apa, selama anak-anak disini nyaman denganmu. Tapi siapa namamu wahai bintun Paman Zakh?” “nama saya Maria ya Syeikh..” “hm.. baiklah, beristirahatlah..”. Lalu aku pergi meninggalkan ruangan itu.

Ketika aku berjalan menuju kamar, kulihat anak laki-laki terdiam di jendela dekat ruang tunggu. Aku menghampirinya. “hai..pangeran, apa yang membuatmu sendirian disini?” ucapku lembut. “apa yang kau lakukan disini gadis muda? Mengapa naswa begitu dekat denganmu?” ucapnya sedikit ketus. “hm.. dia bilang aku seperti bidadari.. itu yang membuatnya senang didekatku. Lalu dirimu?” “pergilah aku hanya ingin sendiri.” Selama perbincanganku dengan anak ini, ternyata Syeikh memperhatikannya. “lalu menurutmu apakah akan ada bintang jatuh hari ini?” tanyaku “tidak tahu, tapi ibuku selalu bilang begitu.” “baiklah, tapi akan lebih baik lagi saat doa itu kau ucapkan sambil terpejam dalam tidurmu, kamu akan mimpi indah..” “benarkah?” heran anak itu. “iya..cobalah.!” “maukah kau temani aku menuju kamarku, wahai bidadari naswa?” “iya pangeran,” dan aku mengantarkannya, dan meninggalkannya saat ia terlelap. Begitu nyaman. Setelah itu aku kembali kekamarku dan beristirahat.

Pagi hari…
“tidak mau..tidak mau..” rengek anak-anak dipagi hari ketika mereka sedang asyik bermain. Aku keluar melihat pemandangan indah mereka bermain. “waah..bidadari..!!” teriak Naswa, kini aku tahu namanya. “haaii.. selamat pagi putri cantik.” Tak lama datang si pangeran tadi malam, “haii bidadari naswa..” “ooh..hai pangeran,, apakah mimpimu indah semalam?” “iya..kau benar sekali..” lalu ia tertawa, “huuh..bidadari aku malas menghafal sekarang..” ucap Naswa. “hm.. kenapa? Menghafal itu bagus untuk kebaikanmu. Saat kamu hafal Al-Qur’an nanti kamu akan tampak seperti putri cantik yang sempurna..” “apakah benar begitu bidadari?” “iyaa.. coba kau sudah hafal berapa juz?” “25 juz..” “bagus itu.. sedikit lagi aku akan memberikanmu sesuatu agar kamu menjadi putri tercantik disini.. mauu?” “iya naswa.. sedikit lagi itu..” ucap pangeran gantengku dengan usilnya. “iih..kaka fakhri jangan menggangguku..” “hahaha… ayo putri Naswa dan Pangeran fakhri..kita menghafal dulu..” “tunggu.. aku mau mengajak teman-temanku yang lain..” kata Naswa dan Fakhri  “ajaklah semuanya..” pintaku.

Beberapa saat kemudian, tak disangka semua anak benar-benar diajak oleh mereka. Aku begitu takjub melihatnya. Begitu menyenangkan. Maka kubawa mereka semua masuk keruang hafalan. “terima kasih wanita muda..” ucap salah seorang pengasuh yang mungkin sebaya denganku. “iya..sama-sama..umi” “aah.. panggil saja saya Aisah” “baiklah Aisah, ayo kau sudah ditunggu oleh mereka..” “iya..” maka pergilah ia lebih dulu. Aku hanya dapat memperhatikan mereka berlomba-lomba menghafalkan Al-Qur’an, aku begitu malu untuk duduk disampingnya walau hanya mendengarkannya. “masuklah.. mengapa kau memperhatikan mereka disini?” Tanya Syeikh menghampiriku. “tidak Syeikh, aku begitu malu berada disamping mereka. Keyakinanku berbeda dengan mereka.” “itu tidak menjadi masalah saat kau membawa pengaruh baik pada mereka untuk hal ini” “ahh.. ini bukan seberapa syeikh.” “baiklah kalau begitu, masuklah jika kau berubah fikiran.” “baik Syeikh..” Aku pergi meninggalkan yayasan ini untuk sementara. Aku ingin mengenal Madinah seperti apa keindahan alamnya. Aku berniat untuk berjalan-jalan sejenak.

Perjalananku menggunakan bus travel Madinah membuatku berkeliling Madinah dan menyaksikan beragam keindahan kota ini. Yang paling indah hanya satu bagiku saat ini, Masjid Nabawi, tepat didepanku. Indah sekali. Kulihat kedalamnya penuh dengan ukiran-ukiran kaligrafi nan indah. Aah..sudah lama aku tak melukiskan itu lagi. Akhirnya aku berniat untuk membuat satu kaligrafi besar untuk yayasan, aku tak sabar. Berbagai macam peralatan kubeli untuk membuatnya nampak indah nantinya. Aah..semoga ini bermanfaat.

Tak terasa, sudah pukul 16.00, hari ini aku berjalan-jalan begitu jauh dan lama. Sesampainya aku digerbang yayasan dan masuk kedalam tamannya, kulihat anak yang berbeda, biasanya Naswa dan Fakhri yang kutemui. Siapa dia? Lalu aku menghampirinya. “hai gadis cantik.. apa yang kau lakukan sendirian di bangku ini? Boleh aku duduk disampingmu?” “duduklah.. sepertinya kau begitu lelah” “huuh..sepertinya bukan hanya aku yang lelah disini, apa kau mau melakukan sesuatu?” “apa itu?” lalu aku mengoleskan sedikit es krim yang ku makan dipipinya. “ aah.. kau ini..” lalu dia membalasnya dengan es krimku, dan es krimku terjatuh, lalu kami tertawa bersama. “hai bidadari, apa yang kau beli? Banyak sekali?” “hm.. ini sebuah kejutan!! Nanti kau akan tahu.. ayoo masuk sudah mau maghrib, bersihkanlah dirimu dari es krim itu..” “hahaha… terima kasih bidadari cantik..” “sama-sama gadis cantikku..” . Lalu kami masuk bersama.

“huuh… lelah sekali..”. Aku membersihkan diriku dan beristirahat sambil mamandangi barang-barang yang kubeli. Tok..tok..tok.. ada yang mengetuk pintu kamarku. “iya??” tak kusangka itu umi kultsum. “apa kau sibuk malam ini?” tanyanya.
“kehadiranmu disini benar-benar merubah sikap anak-anak, mungkin hanya beberapa anak…” ucap  Umi kultsum panjang sekali. “maaf Umi, kalau itu memang membuat umi merasa tidak nyaman, aku bisa merubahnya kembali.” “ooh..tidak..bukan begitu. Aku hanya ingin menyampaikan sedikit amanat dari Syeikh Ali, 2hari ini ada suasana baru yang dirasakan Syeikh pada anak-anak, hafalannya bertambah banyak, mereka ceria dan selalu berlomba-lomba dengan baik. Syeikh ingin kau menetap disini sebagai pengasuh mereka.”. aku terdiam. Aku sadar apa yang sudah aku lakukan disini, tapi itu benar-benar bertentangan dengan maksud keberadaanku disini. “Umi, boleh aku meminta waktu untuk berfikir?” “iya.. aku tidak memaksa..” maka selesailah perbincangan kami malam itu, sungguh membingungkan.

Disela-sela kebingunganku, aku mulai membuat sketsa kaligrafi yang akan aku buat. Huuh…tak ada ide. Akhirnya aku berniat untuk keluar sebentar. Saat aku diluar kamar sambil berkeliling asrama, ku tengok kamar Fakhri, kulihatnya terlelap pulas, lalu ku tengok kamar naswa, diapun begitu, dan kulihat gadis cantik disebelahnya, iapun begitu. Apa aku akan meninggalkan mereka??  “mereka anak-anak yang polos, tak mengerti arti perpisahan” ucap Syeikh dibelakangku. Aku agak sedikit kaget saat tau itu Syeikh. “tapi justru itu yang membuatku berfikir..” “aku tahu kau Nasrani yang ramah dan berhati mulia, tapi aku lebih percaya bahwa kau memiliki hati seorang mukmin.” Ucapnya sambil berjalan meninggalkanku. Lagi-lagi hal itu, aku benar-benar bimbang.

Saatnya tibaa…….
Tok..tok.. ketukku diruangan Syeikh Ali. “Assalamu’alaikum Syeikh..” “Wa’alaikumsalam ya Maria, masuklah..duduklah” . dan aku gugup sekarang. “maaf syeikh menganggu, kedatangan saya kesini, saya ingin pamit kembali ke daerah asal saya..saya pamit meninggalkan yayasan ini.” “hm.. baiklah itu memang sudah hakmu untuk memilih, jangan sampai anak-anak menjadi beban untukmu kembali..” “iya syeikh, terima kasih banyak atas segalanya yang tak bisa saya ucapkan satuper satu..” “ah.. itu tak seberapa besar dengan perubahan yang kauberikan pada anak-anak.” “kalau begitu saya pamit syeikh..”. Maka kutinggalkan yayasan ini pagi-pagi sekali agar tak membangunkan anak-anak yang masih tertidur, aku masih harus menuju kediaman Syeikh Abdullah untuk mengambil tiketku.

“nah..ini dia tiketmu, nak!” ucap Syeikh Abdullah.”terima kasih banyak Syeikh, tapi bolehkah saya meminta satu hal?” “apa yang kau inginkan wahai wanita nasrani?” “jika benar segala dugaan yang engkau katakan padaku beberapa waktu lalu, dan jika benar perasaan ini mengakatakan iya dan yakin, saya mohon, ISLAMkan saya Syeikh..” “Subhanallah…” . Hari itu benar-benar hari yang begitu Indah bagiku. Aku kini sudah berbeda dengan yang dulu. Aku merasa seperti kembali  kepada diriku yang begitu aku rindukan. Kini panggi aku ASMAUL HUSNA.

Turki…………
“maaf Paman…” ucapku gemetar dihadapannya. Lalu dengan hangatnya paman Zakh memelukku sambil menangis. “puji Tuhan yang telah mengembalikan ingatanmu, wahai gadis kecilku” aku tak tahan menahan tangis ini didalam dekapannya. Orang yang telah menyelamatkan hidupku hingga seperti ini. Terima kasih Tuhan, Terima Kasih Allah…
Sepanjang perjalananku mendalami agama Islam, aku pergi belajar di kediaman Syeikh Abdullah ibnu Al-Khoeer selama kurang lebih 1 tahun. Kepergianku mungkin membuat paman Zakh merasa kesepian, tapi aku berjanji akan sering-sering menjenguknya.

Di yayasan…
“wahai Syeikh Ali, kutemukan lukisan ini di kamar Maria tadi malam.” Ucap Umi Kultsum. “apa ini? Kaligarfi?” heran syeikh. “iya syeikh, tertulis didalam surat yang diletakkan Maria diatas kasurnya bahwa lukisan ini adalah persembahannya untuk yayasan, terima kasih yayasan, terima kasih anak-anak, terima kasih Umi, terima kasih Syeikh..”. Syeikh terdiam memandangi lukisan tersebut. “letakanlah lukisan ini disebelah sana, biar kupajang saja disini..” 

Kediaman Syeikh Abdullah ibnu Al-Khoeer..
“wahai istri-istriku, ajarkanlah berbagai hal pada wanita mu’allaf ini, ialah wanita pujaan umatnya, panggil ia asmaul husna..” pinta Syeikh Abdullah kepada keempat istrinya. Sudah 1 tahun 5bulan aku ada disini, selama 7bulan kedepan aku akan belajar dengan keempat istri Syeikh Abdullah, katanya Syeikh telah menemukan jodoh yang tepat untukku, tapi itu bila aku berkenan.

“apa yang akan kau lakukan setelah 7 bulan ini?” Tanya salah satu istri syeikh. “saya tidak tahu Umi, saya ingin kembali ke Turki untuk beberapa waktu menjenguk paman Zakh, dan menyelesaikan kuliahku disana.” “bidang apa yang kau dalami disana?” “bidang seni, seni Peradaban Agama, itu adalah berbagai macam seni dari berbagai macam agama.” “huuh..hebat, baguslah kalau begitu..”

7 bulan kemudian………
Tok..tok..tok.. ketukku diruangan Syeikh Abdullah. “Assalamu’alaikum syeikh..” ucapku. “wa’alaikumsalam, duduklah husna” lalu aku duduk dihadapannya. Beliau sudah begitu tua, begitukah keadaan Paman Zakh disana?. “begini Husna, aku ingin sebelum kau berangkat kembali ke Turki, bertemulah dengan seseorang yang telah kujanjikan padamu, tapi hendaknya kau gunakan cadar saat bertemu dengannya, jika itu dapat membuatmu berfikir terlebih dahulu di Turki nanti, bagaiamana?” “baiklah syeikh..asalkan itu terbaik untukku..” “ha..nanti saat kupertemukan kau dengannya, jawablah beberapa pertanyaan darinya, agar diapun dapat mempertimbangkan dirimu..”. Apa ini? Apa ini sebuah pertemuan? Atau ta’aruf? Huuh.. usiaku baru 22 tahun, aku masih ingin berkarya, tapi..yasudahlah..

Dikamar……
“gunakanlah gamis ini, kau akan nampak cantik dengan ini.” Ucap istri termuda Syeikh. “kau tidak perlu takut, ini hanya sekedar ta’aruf, kau dapat mempertimbangkannya nanti” jelas istri tertua Syeikh. “iya Umi, terima kasih banyak..”. Aku hanya bisa tersenyum seraya didandani oleh istri-istri Syeikh, aku tak tahu siapakah kelak yang akan dipertemukan denganku, apakah aku kenal dengannya? Atau tidak?

Pertemuan…….
“hahaha…tidak wahai keponakanku, inilah wanita paling tepat untukmu. Aku yang mendidiknya untukmu.” Ucap Syeikh Abdullah. “haha..wahai pamanku, aku ini sudah dewasa, aku bisa memilih untuk diriku sendiri..” jawab keponakannya, “aah…kau ini, kalau begitu kita buktikanlah bagaiamana pilihanku ini.., nah Umi, bawa Husna kemari..” . Maka datanglah aku masuk keperemuan itu, saat aku menengok ke arah pria itu, betapa herannya aku.. itu..itu… itu Syeikh Ali ibnu Abdullah Az-Zukhruf ,  namun aku tak dapat melakukan apapun. Bagaimanapun dia takkan mengenal diriku. “nah, ya Ali, ini dia wanita pilihanku untukmu, kau bisa bertanya padanya jika kau ingin tahu” . maka Syeikh Ali menoleh ke arahku, “wahai wanita muda yang dipilihkan pamanku untukku, siapakah namamu?”. Aku kini benar-benar gugup, “nama saya Asmaul Husna.” . Syeikh Ali terdiam sejenak, lalu bertanya lagi, “dimanakah walimu?” lalu Syeikh Abdullah menyela, “ya Ali, kau ini bagaimana, akulah wali untuknya, aku yang mengislamkan dia untukmu..”  Syeikh Ali kini benar-benar terdiam dalam lamunanya, “wahai pamanku bolehkah aku melihat wajahnya?” pinta Syeikh Ali tiba-tiba. “ah..baiklah, inilah ta’arufmu. Bukalah Husna, inilah calon suamimu..”. Aku gemetar membuka cadar ini dihadapannya. Saat aku telah membuka cadar ini, Syeikh Ali terdiam, memandangku sejenak dan menoleh kembali. “bagaimana Ali? Apa ku bilang, ini sangat cocok untukmu.”. Suasana begitu larut dalam kediamannya membuat Umi dan Syeikh Abdullah banyak memberikannya arahan. Aku tak kuat lagi berlama-lama disini. Aku ingin kembali.

Di Bandara…………….
“hati-hati ya Husna..” ucap Umi yang mengantarkanku ke bandara. “iya Umi,terima kasih banyak”. Kini aku telah bercadar, bukan cadar burqa, hanya cadar biasa. Aku masih menyesuaikan diri dengan keadaan ini. Karena ini bukan tanah kehidupanku. Aku kembali ke Turki.

5bulan di Turki………….
Aku begitu rindu dengan Paman Zakh, dengannya bersama membuat teh, meracik teh dan menanamnya bersama. Aku rindu Turki. Selama 5 bulan ini, aku menyelesaikan kuliahku untuk mendapatkan gelar s2ku, aku tidak tahu apakah ada yang salah dengan diriku, semenjak aku mencintai agamaku, hafalan Qur’an dan segalanya yang bersangkutan dengannya, belajarku semakin mudah dan cepat.  Tak terasa aku sudah diwisuda. Memandangi fotonya saja sangat menyenangkan. Ingin rasanya aku kembali menginjak tanah Palestine, bagaimana kabarnya sekarang? Benar-benar mengenaskan. Adakah kemungkinan aku dapat bertemu dengan kedua orang tuaku. Kupandangi anak-anak yang berlari-larian di taman ini. Indah. Mereka senang sekali. Hal ini mengingatkanku pada Naswa, Fakhri dan si gadis cantik, serta semua anak-anak yayasan, bagiamana kabar mereka sekarang. Aku begitu ingin memeluk mereka. Lalu terlintas dalam bayangan indah ini, lukisan yang kutinggalkan disana, “kira-kira dipajang dimana ia sekarang?” 

Saat aku tiba dirumah, kudengar Paman Zakh memanggil namaku, nama lamaku.. Mariaa… Mariaa… Aku panik dan langsung menghampirinya. “ya ampun paman, tubuhmu begitu panas, ayo kita kerumah sakit.” “tidak Maria.. aku hanya ingin disini, tidur bersamamu..anak gadisku.” Cegahnya sambil menggenggam erat tanganku. Aku tak kuasa menahan tangis didepannya, namun ia hanya tertawa. Ia terlelap dalam belaianku. Lalu terbangun lagi, terus begitu hingga larut malam, “Maria..jika kelak aku tiada, tetaplah menjaga kebun dan rumah kita, aku ingin teh ini tetap dapat dicicipi oleh anak cucumu kelak. Tak apa jika kau sering pergi, yang penting rumah ini tetap ada.” Pintanya. “baik paman..”. Setelah itu ia terlelap kembali. Aku menangis mencium kedua tangannya. Namun semakin lama tangan ini semakin dingin. Suara nafasnya lama kelamaan tak terdengar lagi, “paman…paman…pamannn..!!!” isakku ketika aku sadar, ia telah tiada.

Pemakaman dilaksakan sesuai keyakinannya, aku sedih karena tak dapat memeluknya lagi, aku sedih karena harus kehilangan orang sebaik dirinya. Aku menyayangimu Paman. Berita duka ini ternyata tersebar keseluruh pelanggan setia teh buatannya, termasuk Syeikh Abdullah. Setelah merapikan toko  dan rumah ini, aku berencana untuk pergi ke Madinah, dan menitipkan ini pada saudagar dermawan disini, dialah tetangga terbaikku, Paman ozak. “apa kah semua perawatannya sudah tertera lengkap disini” tanyanya sambil menunjukkan kertas yang aku berikan padanya. “iya Paman, kabar-kabari aku ke nomer ini ya.. aku ingin selalu mendengar kabarnya.” 

Menuju Madinah…..
Aku sama sekali tak mengabari kedatanganku kembali ke Madinah, aku tak ingin membuat Syeikh Abdullah khawatir, rasanya beliau seperti ayahku sendiri, seperti Paman Zakh. Aku larut dalam indahnya kota Madinah dimalam hari. Indah sekali. Aku beristirahat sejenak di Masjid Nabawi, aku sholat dan menenangkan diri sesaat. Saat sholat dimulai, aku begitu mengenal suara indah ini. Yaah… ini Syeikh Abdullah ibnu Al-Khoeer. Aku rindu dengannya.

Seusainya aku kembali melanjutkan perjalananku menuju kediaman Syeikh Abdullah. Aku berjalan perlahan. Mendengarkan suara kaki-kaki yang berjalan bersama. Aku begitu focus, hingga tak terasa aku telah sampai didepan gerbangnya. Terbuka. Berarti ada acara. Aku masuk ketamannya dengan sambutan para penjaganya. Melihat ruang utama begitu terang disana. Akhirnya aku memutuskan untuk lewat belakang. Saat aku menegtuk pintu belakang, seorang wanita yang kukenal namanya membukakan pintu dan langsung memelukku, iya di Umi. Istri tertua Syeikh Abdullah. “mengapa kau lewat belakang? Ayo masuk, ini dingin sekali..” ajaknya. “iya umi, tidak apa-apa, aku baik-baik saja.” Jawabku. “hush…sudah, ini, minumlah. Ini hangat. Ini teh Yasmin itu….” Umi terdiam. “tidak apa-apa umi, tenang saja.” Lalu umi kembali tersenyum sambil mengelus bahuku. Teh ini memeng enak. Lalu datanglah istri yang lainnya memelukku erat. Aku tak tahu apakah mereka rindu, atau iba padaku. Yang jelas aku merindukan pelukan ini.

Beberapa saat kemudiaan….
“syeikh.. ada Husna disini..” bisik Umi kepada Syeikh. Syeikh kaget dan sedikit tersentak mendengarnya. Namun tak mungkin beliau meninggalkan tamu-tamunya. Kini aku ada dikamarku. Aku beristirahat sejenak, setelah sekian jam perjalananku menuju Madianah. Aku lelah. Mata dan hatiku. Beberapa saat kemudian, aku diajak oleh istri syeikh untuk menemui syeikh. Saat itu, Umi yang mengantarkanku. Saat aku sampai diruangannya, tanpa sadar aku lepas kendali dan terjatuh dihadapan mereka semua, aku tak kuat. Lalu dibawalah aku kekamarku oleh para istri. Aku tak sadarkan diri hingga fajar tiba.

Fajar tibaa……………..
“hm..” hendusku membuka mata. Kudengar suara gemuruh anak-anak bermain diluar sana. Aku bertanya-tanya siapakah mereka. Lalu kukuatkan diri merapihkan penampilanku dan keluar. Saat keluar, kulihat Naswa dan Fakhri disana, “kalian???” . mereka diam, lalu memanggil yg lain sambil berteriak, “Ahlan wa Sahlan ya Umi…..” bersama. “aahh…kemarilah!!” haruku sambil memeluk dan menciumi mereka satu persatu, aku yakin ada diantara mereka yang tak mengenaliku. “ayoo bidadari.. duduklah diruangan sana, kita bercerita bersama..” pinta Naswa. “baiklah… akan ku ceritakan sebuah cerita teladan.. ayoo siapa yang mau dengar?” “aakuuuuuu….” Semua berteriak bersama.

Saat sedang asik bercerita, ada diantara mereka yang sampai tertidur dipangkuanku. Aku benar-benar menyayangi mereka.”bidadari, mengapa engkau pergi tanpa memberitahu kami waktu itu?” Tanya Fakhri. “hm.. saat itu aku benar-benar terburu-buru, kan pesawat terbangnya cepat, kalau aku tertinggal, aku takkan bisa kembali kerumahku..” alasanku. “hm.. tapi apakah kau tau, Najwa yang kau temui sore-sore.. melihat kau membeli banyak barang, apa itu?” Tanya Naswa. “aah…itu alat-alat lukisku..” jawabku. Lalu Najwa terbangun dari tidurnya, “lalu apakah lukisan kaligrafi indah itu milikmu?”. Aku terdiam sejenak. Aku tak mungkin bisa berbohong kali ini. “hm.. iya itu buatanku, untuk kalian semua sebagai hadiah bila kalian tak melihatku lagi saat itu..”  “waah… benarkah?? Berarti saat kami merindukanmu, kami bisa melihatmu dilukisan tersebut?” Tanya Fakhri. “tidak dapat dilihat disitu, tapi bisa kalian rasakan.” “lalu apakah Syeikh Ali juga merasakan hal tersebut?” Tanya Naswa. “maksudmu?” aku heran, kenapa ia bertanya seperti itu. “iya.. lukisan itu diletakkan diruangannya, dan setiap kali aku berkunjung, kalau tidak sedang mengaji, belajar, atau memandangi lukisan tersebut..” jelas Naswa. “hm.. begitu..mungkin.. seperti kisah yang tadi aku ceritakan, ketika sang anak merasakan kehadiran ibunya walau hanya dari sehelai kain.” “waah…kau tau bidadari, aku sangat ingin kau dan Syeikh Ali menikah dan tinggal bersama kami..” ucap Fakhri spontan memelukku. Aku terdiam, aku tidak tau harus menjawab apa. Aku hanya dapat tersenyum memerhatikan mereka satuper satu.

Setelah kurang lebih 1jam bersama mereka, kini mereka semua tertidur diruang keluarga bersama-sama. Aku tinggalkan untuk membersihkan diri sejenak dan menenangkan fikiran ini. Saat menuju kamar, kudengar suara indah lantunan Al-Qur’an disebuah ruangan, itu ruangan Syeikh Abdullah. Aku penasaran dan sedikit mengintip. Saat kulihat siapa disana, aku terdiam mematung, dia bukan Syeikh Abdullah, itu Syeikh Ali. Aku segera pergi meninggalkan tempat itu dan masuk kekamarku.

Waktu makan siang……….
“haaa… sekarang aku makan dengan bidadari lagi…” ucap riang Naswa. Aku hanya bisa tersenyum. “hahaha…Naswa, makanlah yang banyak. Kalian semua makanlah yang banyak selagi Allah masih memberikan kita rizki yang melimpah.” Ucap Syeikh Abdullah. “Syeikh Ali.. apakah kau tahu bahwa yang membuat lukisan kaligrafi indah itu bidadari..??” Tanya polos Naswa. “iya nak, saya tahu, makanlah, jangan berbicara.” Jawab singkat Syeikh Ali. “yeeee…muach” kecupnya dipipiku, dan ini membuatku kaget. Lalu semua tertawa melihat tingkah kepolosannya. Dialah anak paling kecil diantara anak-anak yang lain.

Saatnya pulang kembali ke yayasan, aku tak bisa ikut kesana. Naswa, najwa, dan Fakhri terlihat sudah terbiasa mendengarkan perintah pengasuh lainnya, setidaknya tidak sesulit saat pertama kali aku bertemu dengannya. “Syeikh Ali, mengapa bidadari tidak ikut?” Tanya naswa menghampiri Syeikh Ali, “ajaklah.. jika kau mengajaknya, dia pasti mau..” ucap Syeikh Ali. “horee.. ayoo bidadari..ikutlah bersamaku, dengarkan hafalanku disana bidadari..” ajaknya sambil menarik tanganku. “baiklah sayang..ayoo kita berangkat..”. akhirnya aku mengikuti mereka kembali ke yayasan.

Malam disaat aku jatuh pingsan…
“Ali, dia pasti lelah setelah menjalani kehidupan barunya. Bersabarlah, waktunya belum tepat.” Ucap Syeikh Abdullah. “Iya paman, aku tahu. Terlihat jelas saat dia pingsan tadi. Aku harap kedatangan anak-anak besok bisa membuatnya lebih baik.” Jawab Syeikh Ali. “ketahuilah bahwa ia adalah muallaf yang sangat mulia, tekadnya untuk mengenal islam begitu besar. Aku tahu itu sejak pertama aku melihatnya mendengarkanku mengaji untuknya. Dia begitu indah untukmu. Jagalah ia baik-baik.” “baik paman..”

Selama 1 bulan ini aku terus menerima kabar tentang perkembangan kebun dan toko teh Paman Zakh. Aku selalu memantaunya. Hingga tak terasa, saatnya aku bertemu lagi dengan Syeikh Ali. Ia telah menerimaku sebagai calon istrinya begitupun diriku. Mau bagaimana lagi, aku tak memiliki siapapun untuk berbagi cerita. Aku tak tahu apa ini, tapi senang rasanya satupersatu masalah dihidupku terlewati. Akadnya dilaksanakan minggu depan di masjid Nabawi, Kota Madinah. Semua sudah dipersiapkan dengan baik oleh para istri dan begitu pula diriku. Aku yang menata kamar tidurku dan calon suamiku kelak. 

Hari pernikahanpun tiba……………………..
“huufft.. aku begitu gelisah, Umi..” kataku pada Umi Kultsum, istri tertua Syeikh Abdullah. “Tenangkanlah hatimu, Husna!! Yang akan kau hadapi bukanlah perang anakku.. ini hari bahagiamu!! Kamu harus berbahagia!!” ucap Umi dengan penuh semangat. “yaah.. bahagia!!” semangatku. Aku begitu gelisah badanku terasa begitu dingin, mungkin karena terlalu gugup untuk hari ini. Sebelum menuju Masjid, aku berhenti sejenak serambi menatapi diriku di kaca yang begitu besar di ruang  utama rumah Syeik Abdullah, inilah diriku yang baru, Asmaul Husna, bukan Maria. Aku melanjutkan langkahku bersama istri-istri Syeik. “Husna, apakah kau sakit?” Tanya Umi. “aku baik baik saja, Umi!” jawabku gemetar. “badanmu panas sekali Husna? Bagaimana? Kau kuat?” “iya, Umi! Kau tak perlu mencemaskanku!” 

Sesampainya di Masjid Nabawi…………..
(Suara alunan murattal) aku berjalan dengan percaya diri memasuki masjid. Kakiku begitu gemetar menahan tubuhku yang terus menerus kedinginan. Kulihat mata- mata indah memandangiku dengan wajah yang sumringah. Yah. Mereka malaikat-malaikat kecilku. Senyuman itu tak kuasa membuatku tersenyum bahagia. Najwa, Naswa putri kecilku. Saat aku duduk ditempat yang sudah disediakan, sebelah kanan terdapat meja ijab qabul berlangsung, Nashwa menghampiriku dengan kepolosannya, “bidadari.. cantiknyaa!!!” kecupnya dipipiku. “aah.. putri kecilku, duduklah yang manis, Nak! Nanti bajumu akan lecek!!” jawabku bahagia. “iya!!” jawabnya seraya tersenyum ceria. “bidadari, kau begitu panas!!” ucap Naswa. “tenanglah, nak! Sebentar lagi acara akan dimulai!” jawabku sangat pelan. Lalu dimulailah ijab qabul. Aku begitu gugup mendengarnya. Hingga semua hadirin bertepuk tangan dan bunga-bunga berjatuhan menghujani kami semua, lalu aku menolehkan pandanganku pada sosok yang berada di meja ijab qabul itu, Syeikh Ali, ia tersenyum padaku. Aku hanya bisa menundukkan kepalaku seraya tersenyum yang entah terlihat olehnya atau tidak. Yang jelas, saat itu pula pandanganku terasa kabur.

Setelah itu dimulailah acara hiburan dan walimah. Aku dibantu oleh beberapa istri Syeikh Abdullah untuk menghampiri pengantin pria dan duduk disinggasana bersama.hahah.. itulah adat disini mungkin. Singgasana yang sejajar dengan tamu hanya berbeda qubah dan meja santapan. Aku berjalan perlahan dengan tubuh gemetar  menahan sakitnya tubuhku hingga menemui Syeikh Ali yang kini adalah suamiku. Duduk berdampingan dengannya. Kulihat tamu-tamu begitu berbahagia menghampiri kami secara bergilir. Aku hanya dapat menunduk untuk menandakan terimakasih pula, begitu kata Umi Kultsum sebagai pengantin. Waah… begitu jauh berbeda dengan pernikahan umat nasrani. Seraya berjalannya waktu, tiba saatnya santapan hidangan. Tamu-tamu dipersilahkan untuk makan, dan pengantin diberikan waktu sendiri diakhir, jadi kami hanya mengobrol santai seraya berjalannya waktu. Ditengah obrolah itu, “kau terlihat begitu bahagia hari ini, Husna! Wahai Yasminku!” ucap Syeikh Ali padaku. Aku sedikit tersentak mendengar suara bass nya tersebut,, “ya.. ini adalah hari paling menakjubkan dalam hidupku! Hari dimana aku merasa begitu bahagia, hingga tak sanggup kututupi walau dengan sehelai cadar!” jawabku begitu mengalir. “hm.. tapi sepertinya ada yang tidak beres denganmu. Apakah kau sedang sakit?”  jawab Syeikh Ali seraya tersenyum memandangiku diliputi rasa cemas. Aku gugup. Begitu gugup. Kurasa jika aku tak menggunakan cadar, betapa pucat wajahku dilihatnya. “aah... aku baik baik saja!” jawabku mengalihkan pandanganku. Sesaat setelah itu, aku beranjak untuk bangun membenarkan pakaianku, saat itu pula aku tak sadarkan diri. Aku hilang kendali dan tak sadarkan diri lagi. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah itu.

Malam di Rumah Sakit …………………..
Tok..tok.. suara pintu kamar pasien ini diketuk oleh Syeikh Abdullah. Pandangan Syeikh Ali langsung menuju kearah pintu seraya bertanya dengan gelisah “Paman, apa yang terjadi dengan Yasminku?” “Ali, tenanglah. Dia akan baik-baik saja!” jawab Syeikh Abdullah tenang. “sebaiknya kau ceritakan yang sesungguhnya padaku, Paman!” tegas Syeikh Ali. “tapi, kau harus berjanji akan menerima ini!” Tanya Umi. “Sejak aku terima ia sebagai istriku, kuterima apapun yang terjadi padanya.” Lalu Syeikh Abdullah menghembuskan nafas seraya mulai menjelaskan, “Asmaul Husna adalah doa yang aku selipkan untuknya. Agar ia memiliki kehidupan yang lebih baik lagi. Masa-masa sulit yang ia alami selama ini terbayar sudah dengan berbagai kebahagiaan. Tapi, hal itu tidak membuatnya terhindar dari segala musibah yang ditakdirkan untuknya. Ia terkena penyakit kesalahan pada sel otaknya. Dokter memang berkata ini baru awal, jadi masih bisa disembuhkan perlahan. Namun, dokter tak bisa memastikan ia akan sembuh. Karena penyakit ini banyak memutuskan harapan orang yang mengidapnya untuk sembuh. Perlahan-lahan, ingatannya akan hilang, secara permanen. Ia juga akan mengalami masa koma yang cukup lama. Yang jelas, ini adalah akibat dari pengalaman buruknya di Palestine, yang aku sendiri tak tahu seberapa buruk itu. Percayalah, nak! Kau harus menjaganya!” jelas Syeikh Abdullah begitu detail. Syeikh Ali hanya terdiam. Memandangiku, termenung dalam kesedihan.

Setiap hari, Syeikh Ali hanya bisa memandangiku, mengaji untukku, berbicara denganku berusaha sebisanya agar aku terbangun dari tidur lelapku. Dalam tidurku ini, aku menjalani masa kecilku yang begitu indah. Yah, aku bisa melihat wajah ibu, ayah.. kakak- kakakku. Aku melihatnya jelas. Namun terkadang aku melihat mereka hilang. Lalu wajahnya berganti menjadi Paman Zakh, Syeikh Abdullah, Umi, anak-anak yayasan, bahkan Syeikh Ali yang terlihat begitu sedih. “Ada apa denganmu? Mengapa wajahmu begitu sedih?” “kembalilah Mariaa!!” aku tersentak. Namun aku berusaha tenang mencari jalan keluar. Berusaha untuk keluar.

1 bulan kemudian....
“Ali, ini sudah 1 bulan. Apa ia mengalami perkembangan?” Tanya Umi Kultsum. “ia terkadang tersenyum, lalu bersedih kembali. Wajahnya terkadang terlihat begitu lelap, namun aku sesekali mendengar suara hendusnya, hanya mengendus berusaha membuka matanya. Apa yang harus aku lakukan, Umi? Lihatlah, tubuhnya semakin lama semakin kecil.. Yasminku aku tak tahu lagi harus apa!” tangisnya dalam dekapan Umi Kultsum. “tenanglah, nak! Allah bersamamu!”
Dalam lelapku, ibu berkata padaku, “nak, ikutlah denganku!” “bisakah aku ikut denganmu, ibu?” “yaa… tentu, tapi kau harus meninggalkan semua kehidupanmu saat kau membuka matamu!” “maksud ibu apa?” “bukalah matamu, lihatlah mereka, dan sampaikan salamku pada mereka, lalu kembalilah padaku, bisakah kau?” “ibu, aku baru saja menikah, tak inginkah kau melihat diriku yang baru?” “tidak anakku! Aku sudah tau. Aku hanya ingin bersamamu.” “lalu bagaimana dengan suamiku ibu? Haruskah aku meninggalkannya? Sepaket teh Yasmin yang mengantarkanku padanya?” “tentukanlah pilihanmu! Temuilah cahaya hatimu yang sebenarnya, anakku!” lalu aku tersentak. Ibuku menghilang. Aku merasa semakin jauuh… jauh hingga… Teeett….teeettt…teeetttt……… suara alat pendeteksi detak jantungku berbunyi bertanda aku bernafas dengan baik. Tanganku terasa bergerak. Lama kelamaan mataku terbuka, silau. Tanganku bergerak menuju kepala seseorang yang ada disampingku. “Husna, kau bangun?? Yasminku!!” teriak seseorang yang aku kenal suaranya. “bagaimana ini bisa terjadi?” ia begitu histeris. “Husna, bagaimana keadaanmu?” Tanya seorang wanita. Mataku kabur menuju jendela disampingku. Aku melihat langit begitu terang,  gemuruh tembakan bahkan bom terdengar keras ditelingaku. “berisik. Ini terlalu berisik. Ibu.. ibu..” ucapku pelan. “Ali, sepertinya ia melihat ibunya?” ucap Umi. “Husna, ada apa denganmu? Ini malam hari.” Tanya Syeikh Ali. 

“Paletine, Palestine!” ucapku. “apakah kau akan kembali?” Tanya syeikh Ali memegang tanganku dan menatapku tajam. Aku menoleh kearahnya. “Ibu, Ali. Aku melihatnya. Aku bertemu dengannya. Aku bermain dengannya.” “Husna, apakah kau akan meninggalkanku?” Tanya Syeikh Ali menangis dihadapanku. Aku menggerakkan tangan kananku, lalu mengusap air matanya. “tenanglah… aku hanya pergi sebentar saja.. bisakah kau tetap menjaga dirimu. Jangan menangis. Jagalah anak-anak….” Aku terdiam melihat syeihk Ali, “kau hanya tersenyum sehari untukku, kau menjadi milikku sepenuhnya dalam sehari, dan dalam 1 bulan terakhir kau tertidur meninggalkanku? Haruskah kau pergi menemui ibumu? Tidakkah kau pikirkan aku, wahai teh Yasminku?” aku diam. Aku menoleh kembali kearah jendela, aku melihat ibu melambaikan tangannya. “ibu.. jangan pergi!” tanganku berusaha menggapai. Teeeeeeeeeetttttttttttttttt….. suara alat itu berbunyi keras ditelingaku. Lalu aku terbangun dan melihat ibu dihadapanku. 

“ooh.. ibu, aku mohon jangan kemana-mana lagi!” aku mendekapnya erat. “ikutlah denganku, anakku! Aku akan selalu bersamamu!” ucap ibuku mencium keningku. Aku berjalan bersamanya. Dikejauhan, aku melihat ayah dan Paman Zakh tersenyum melihatku. Aku tersenyum. Dalam tidurku lagi, tak kusangka, aku akan bermimpi seindah ini. Akankah aku akan bertemu dengan seorang pangeran setampan syeikh Ali? Seseorang yang kutemui diyayasan beberapa tahun lalu. Bau teh Yasmin tercium sangat nikmat dihidungku. Kini aku berjalan bersama keluargaku, meninggalkan bau itu menuju tempat yang jauh lebih indah. Tapi percayalah satu hal bahwa dalam hidup, kau selalu memiliki cahaya hati yang terus kau kejar, entah siapa dan dimana, itulah yang akan membawamu pada cinta sejatimu. Teh Yasmin telah membawaku kepada cahaya hatiku, dan cahaya hatiku membawaku pada cinta sejatiku.

 
THE END




 Depok, 05 April 2016
@matapandaa

You Might Also Like

0 komentar